Maraknya Minimarket dan Redupnya Pasar Tradisional

Oleh : Khozanah Hidayati (Anggota FPKB DPRD Tuban)
Tuban, 2 Agustus 2010

Sekarang ini minimarket dan supermarket sebagai wujud pasar modern sudah meramaikan pasar di kabupaten-kabupaten Jawa Timur, demikian juga di Kabupaten Tuban, Bojonegoro dan Lamongan. Dan bahkan pasar modern tersebut dengan minimarketnya sudah eksis dan bahkan merajai perdagangan barang eceran di kota-kota kecamatan di daerah tersebut. Dan bahkan keberadaan minimarket tersebut telah menggerus omset pasar-pasar tradisional.

Berdasarkan data dari AC Nielsen (2006) pertumbuhan pasar modern 31,4 % per tahun, sedangkan pasar tradisional menyusut 8,1 % per tahun. Sedangkan dari sisi pangsa pasar tahun 2009 pasar tradisional masih mendapat 80% dan pasar modern mendapat 20%, namun untuk tahun 2010 sampai lima tahun kedepan pangsa pasar tradisional mengecil menjadi 70% sampai 67%, sedangkan pasar modern meningkat menjadi 30% sampai 37%.

Yang menjadi sorotan adalah kenapa minimarket-minimarket tersebut diberikan ijin untuk beroperasi di lokasi yang berdekatan dengan pasar tradisonal bahkan berhadapan atau bersebelahan dengan pasar tradisional yang ada di kota kecamatan? Apakah para pengambil kebijakan di tiap kabupaten tersebut tidak menghawatirkan akan kelangsungan dan keberadaan para pedagang di pasar tradisional tersebut yang jumlahnya mencapai ribuan orang dan dari masyarakat kelas menengah ke bawah, dibanding para investor minimarket yang tentunya berasal dari para pengusaha menengah ke atas.

Memang tidak bisa dipungkiri bahwa dengan beroperasinya minimarket-minimarket tersebut masyarakat otomatis akan menikmati pelayanan yang bagus, karena minimarket sebagai sebuah toko dagang modern sudah tentunya mengutamakan kenyamanan konsumen dan memberikan harga yang sangat kompetitif dan persediaan barang yang komplet, karena memang mereka disupport oleh sistem majemen modern. Apalagi masyarakat kita terkenal dengan budaya konsumtifnya. Sehingga para konsumen otomatis akan memilih minimarket dari pada pasar tradisional saat mereka berbelanja.

Permasalahannya sekarang adalah kalau persaingan bebas sebebasnya ini dibiarkan terus, maka keberadaan pasar tradisional akan terancam keberadaannya dan bahkan akan mati. Padahal pasar tradisional menjadi sumber kehidupan beribu-ribu rakyat yang bisa dikatakan semuanya berasal dari kelas menengah ke bawah. Sedangkan minimarket hanya menghidup segelintir tenaga kerja yang dipekerjakan oleh para investor yang berasal dari kalangan atas yang tentunya jumlahnya sangat sedikit.

Sebagai biang keladi persaingan bebas yang terjadi antara minimarket / pasar modern dan pasar tradisional adalah tidak adanya aturan pembatasan jarak minimal antara minimarket / pasar modern dengan pasar tradisional yang sudah ada dan juga tidak ada pembatasan jumlah maksimal gerai minimarket / pasar modern yang diijinkan di suatu daerah. Sehingga kenyataannya siapapun, berapapun dan di manapun minimarket / pasar modern bisa didirikan tanpa ada batasan dan tanpa ada peraturan yang mengaturnya. Sehingga lambat laun nantinya pasar tradisonal akan meredup dan bahkan hilang digerus oleh minimarket / pasar modern tersebut kalau tidak segera diantisipasi.

Dengan kondisi seperti dideskripsikan di atas, patut disayangkan kalau para pengambil kebijakan hanya diam dan seolah-olah membiarkan adanya “pengkerdilan” pasar tradisional seperti sekarang ini terjadi secara masif. Padahal menurut Peraturan Presiden (Perpres) No 112 Tahun 2007 perihal zonasi pasar ini menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah.

Untuk mensolusikan itu semua kiranya perlu didorong agar dibuat Peraturan Daerah yang jelas dan tegas perihal pembatasan jarak minimal yang diperbolehkan suatu minimarket / pasar modern berdiri dari pasar tradisional yang sudah ada, sehingga dengan demikian tidak terjadi persaingan bebas yang sebebasnya seperti sekarang ini. Dan bahkan kalau perlu minimarket / pasar modern hanya diperbolehkan berdiri di kota kabupaten saja dan tidak beroperasi sampai kota-kota kecamatan. Dan jumlah gerai yang diperbolehkan berdiripun pun harus dibatasi, misalnya sebanding dengan jumlah penduduk di suatu daerah atau berada di radius tertentu.

Hal ini dimaksudakan untuk tetap menjadikan pasar tradisonal sebagai pusat kegiatan ekonomi rakyat yang perlu dipertahankan dan dikembangkan. Dan juga adanya minimarket / pasar modern yang yang membuka gerai baru tidak membuat over supply di masyarakat.

Agar masyarakat tidak merasa dirugikan dengan adanya pembatasan minimarket yang notabene merupakan pasar modern dengan pelayanan dan servis yang prima, tentunya peningkatan mutu barang dan mutu pelayanan di pasar-pasar tradisional serta penguatan permodalan plus skema pembiayannya perlu digalakkan dan diprogramkan secara seksama, misalnya melalui program revitalisasi pasar tradisional.

Dengan program revitalisasi pasar tradisional diharapkan akan membuat perkembangan pasar tradisional tidak kalah dengan pasar modern dan akhirnya masyarakat merasa terpenuhi dan terlayani kebutuhannya oleh pasar tradisional. Dan juga akan tetap mempertahankan pasar tradisional sebagai pusat kegiatan ekonomi rakyat.

Revitalisasi Pasar Tradisional
Adapun program revitalisasi pasar tradisional haruslah tidak hanya dikaitkan dengan perbaikan sarana fisik semata namun revitalisasi ini harus merupakan konsep yang menyeluruh dari semua aspek dalam membenahi pasar tradisional. Karena sekarang ini yang terjadi adalah revitalisasi pasar tradisional hanya berupa rehabitalisasi bangunan fisik ataupun merelokasi pasar lama ke lokasi baru, dan inipun kebanyakan banyak menggusur pedagang-pedagang lama karena tidak mampu membeli toko atau kios di tempat yang baru tanpa ada bantuan pemodalan.

Revitalisasi pasar tradisional harus menjadikannya sebagai pusat ikon perekonomian suatu daerah, pasar tradisional sebagai simbol kewirausahaan daerah, sebagai indikator ekonomi suatu daerah, dan bahkan menjadi identitas sosial-ekonomi dan budaya bangsa, demikian menurut Rizal Halim dari Fakultas Ekonomi UI (2010).

Revitalisasi pasar tradisional harus dijalankan dengan berbagai aspek yang bekerja secara paralel dan tidak parsial maupun tidak setengah-setengah. Pertama aspek tata kelola dan kelembagaan pasar. Tata kelola pasar tradisional yang buruk menjadi hambatan revitalisasi dan berpotensi memandulkan program perbaikan fisik pasar.

Aspek tata kelola ini harus menentukan kedinasan mana yang bertanggung jawab dalam program revitalisasi pasar tradisional ini dan kedinasan tersebut harus melakukan koordinasi yang kuat dengan instansi, kedinasan lainnya atau pihak penyedia jasa finansial dalam pelaksanaanya. Serta juga harus ditentukan parameter-parameter pengukur keberhasilan kinerjanya. Jangan sampai ada duplikasi program antar instansi atau antar kedinasan perihal program revitalisasi ini.

Kedua aspek finansial, yaitu penguatan pemodalan kepada para pedagang, seperti akses terhadap jasa keuangan serta skema pembiayaannya. Ini jangan hanya dijadikan program di atas kertas, tetapi benar-benar diterapkan agar para pedagang yang sebagian besar dari kalangan menengah kebawah bisa meningkatkan permodalannya.

Ketiga, aspek distribusi dan kontrol kualitas barang yang sampai saat ini tidak pernah diprogramkan. Dari hasil penelitian RICA (Rural Investment Climate Assessment) pada 2005 bahwa ditemukan kualitas barang yang dipasokan ke pasar tradisional bermutu rendah atau bahkan limpahan dari pasar modern yang reject.

Yang terakhir atau aspek keempat ialah perbaikan sarana fisik dan infrastruktur pasar yang selama ini menjadi andalan pemerintah dalam program revitalisasi pasar. Namun perencanaan yang matang dan pengawasan yang ketat saat pembangunannya sangat sekali perlu ditingkatkan agar nantinya fisik bangunan dan infrastruktur yang bagus bisa digunakan dalam jangka panjang dan tidak mubazhir.

Semoga dengan solusi-solusi yang ditawarkan di atas, keberadaan pasar tradisional di seantero pelosok kabupaten tetap menjadi pusat ikon perekonomian rakyat yang bisa memberikan kehidupan beribu-ribu orang. Dan juga keberadaan pasar modern dengan minimarketnya sebagai tuntutan zaman yang akan memberikan pelayanan yang prima terhadap konsumen juga tetap eksis namun tertata dan terkendali dan tidak mengancam keberadaan pasar tradisional. (AM, 2 Agustus 2010).

, , , , , , , , , ,

  1. #1 by Arief Cahyono on Agustus 4, 2010 - 2:08 pm

    Adalah sebuah tantangan untuk Pemerintah ( khususnya Pemerintah Daerah ), kalo memang menginginkan Pasar Tradisional tetap ada. Kita harus melihat secara obyektif, kenapa Pasar Tradisional mulai ditinggalkan masyarakat ?
    1. Masyarakat kita sekarang lebih “pragmatis”, segala kebutuhan sehari-hari, itu semua bisa didapatkan dengan cepat yaitu di Minimarket/ Supemarket ( tanpa harus repot-repot ke Pasar Tradisional, yang terkesan panas, sesak, bau & jam bukanya terbatas )

    2. Mungkin harus dirubah performance & fungsi dari Pasar Tradisional tersebut, misalnya tidak semata-mata berfungsi untuk kebutuhan sehari-hari, tapi lebih cenderung ke fungsi “rekreasi” dan tentunya disesuaikan pula performance-nya

  2. #2 by indra on Agustus 21, 2010 - 11:31 am

    maraknya mini market dan redupnya pasar tradisional kenapa?
    memang fungsi pasar adalah tempat jual beli tapi kok bisa digantikan mini market yang harganya hanya ditenyukan penjual memang suasana pasar tradisional panas, sesak, bau tapi saya yakin masyarakat kecil masih belanja kepasar untuk kebutuhan sehari hari
    seharusnya klo pasar bisa difungsikan secara bagus menurut saya pasar harusnya bisa menjadi tempat pemasaran produk2 daerah jadi tidak harus beli dari luar daerah dan mengikis tengkulak2
    yang kedua kebijakan pemda haruslah berpihak pada rakyat kecil dengan maraknya mini market yang tidak konsisten menerapkan peraturan siapa, pengambil kebijakkan lebih senang yang kaya segelintir orang dari pada masyarakat makmur

  3. #3 by SoftwareToko on Oktober 4, 2010 - 4:51 pm

    siapa yang mau membangkitkan pasar tradisonal menuju pasar moderenisasi… ayooo monggo… tantangan ini …. 🙂

  4. #4 by Sarwo Maruto on Oktober 13, 2010 - 10:22 am

    mbok bakul yang jualan idengan gendongan dan dorongan jualan macam-macam kebutuhan perut di desa-desa dan lorong-loraong (gang-gang) di perkampungan perkotaan mulai jualan ikan laut, ikan darat dan sayuran (janganan) , berkeliling dari rumah ke rumah semakin kurang dapat bersaing, tapi dijaman serba pragmatis ini generasi muda semakin kurang tertarik dan bahkan tidak menghargai profesi bakulan seperti diatas. Katanya Jadull…… Padahal produknya dia makan tiap hari.

  5. #5 by asep on Februari 26, 2011 - 10:45 pm

    tentunya konsumen sangat oportunis, dia pasti memilih barang2 yang disajikan dengan prima dengan harga pas,bahkan lebih murang dari harga ritel tradisional.
    harus ada yang disadari dampaknya, katanya kita ga suka ekonomi kapitalis….
    sadar tidak sadar minimarket/modern, merupakan wujud kongkrit dari kapitalis itu sendiri….
    kata orang sunda : ari ka uing nganjuk ari kabatur mayar kontan, teu hayang aingmah dibelian kumaneh, untung henteu modal beak

  6. #6 by Pantura on Maret 10, 2011 - 6:24 pm

    Dgn adanya mall kadang masyarakat justru bangga krn lebih unggul dr daerah lain, sbg ikon kota dan mjd bahasan yg menarik tetapi kehadiranya juga ditentang habis2an oleh orang2 yg katanya demi melindungi pedagang2 kecil…..saya jadi bingung yg benar yg mana sih karena saya orang awam, apa tdk ada solusi ato formula yg tepat utk kedua2nya(pasar modern dgn pasar trdisonal) hidup brdampingan dan saling membutuhkan juga menguntungkan?

  7. #7 by ulal on Mei 22, 2012 - 12:09 pm

    hm,,, iya seh… saya juga suka mikir ke sana.

    saya adalah seorang karyawan minimarket. silakan mampir ke blog saya. di situ saya akan banyak bercerita pngalaman2 saya slama bekerja di minimarket. mahyihyeh.blogspot.com. trimzz ^^

Tinggalkan komentar