Fenomena Patologis Politik dalam Pemilukada Tuban

Oleh : Khozanah Hidayati (Anggota FPKB DPRD Tuban) *

Pemilihan kepala daerah di berbagai daerah akhir-akhir ini sungguh sangat keterlaluan dan bahkan telah memunculkan berbagai fenomena patologis politik. Konyolnya, inilah sakit yang dipandang normal dan bahkan suatu prestasi tersendiri. Yang patut dicatat antara lain ada kepala daerah yang sudah dua kali menjabat rela turun pangkat sebagai calon wakil kepala daerah asalkan tetap menjadi penguasa. Ini namanya sakit demokrasi kesatu. Patologis karena tidak bisa membedakan antara promosi dan degradasi. Walaupun ini secara prosedural demokrasi tidak menyalahi aturan, akan tetapi hal ini tentunya menyalahi substansi dari demokrasi itu sendiri. Karena tentunya hal ini akan mengarah pada politik dinasti bak sistem kerajaan dan akhirnya akan cenderung otoriter dan koruptif. Ingatlah apa yang dikatakan Lord Acton bahwa power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely.

Misalnya yang terjadi di pemilukada Surabaya Bambang DH sang petahana walikota rela turun pangkat untuk maju memperebutkan kursi wakil wali kota. Juga bupati Kerawang Jawa Barat Dadang S. Muchtar yang mencalonkan menjadi calon wakil bupati berpasangan dengan Soni Hersona pada pemilukada kabupaten Kerawang Nopember 2010 nanti. Dan bupati Wonogiri Jawa tengah Bagug Purnomosidi yang karena sudah dua kali menduduki kursi bupati maka dia rela mencalonkan sebagai cawabup didampingi Sumaryoto.

Tidak itu saja. Ada kepala daerah yang mendorong anaknya menjadi peserta pemilu kepala daerah untuk menggantikannya. Ini sakit demokrasi kedua namanya, yaitu seolah-olah memandang jabatan kepala daerah bagaikan jabatan di ranah privat. Misalnya yang terjadi di pemilukada Ngawi, bupati petahana Dr. Harsono yang karena sudah tidak bisa maju lagi karena sudah dua periode menjabat bupati Ngawi mencalonkan putranya Ony Anwar maju sebagai cawabup untuk berpasangan dengan Budi Sulistiyono yang tidak lain adalah wakil bupati Ngawi petahana. Dan di Cilegon Banten Sang petahana walikota Cilegon Tubagus Aat Syafaat mencalonkan putranya Tubagus Ariyadi maju dalam pemilukada Cilegon. Serta di Kutai Kertanegara, karena sang petahana H. Syaukani yang menjadi pesakitan karena kasus korupsi mengajukan putrinya Rita widyasari untuk menjajal peruntungannya dalam pemilukada Kutai Kertanegara.

Yang lebih sakit, bisa disebut sakit demokrasi ke tiga belas (barangkali), ada yang mengajukan istrinya untuk menjadi suksesor. Bahkan, tak kepalang tanggung, ada kepala daerah yang dua istrinya maju serentak bertarung dalam pemilukada untuk menggantikan sang suami yang poligami. Hal ini terjadi di pemilukada Kabupaten Kediri. Sang petahana bupati Sutrisno mencalonkan dua istrinya sekaligus Haryanti dan Nurlaila sebagai suksesornya yang saling bersaing.

Semua kasus-kasus di atas sudah tentu melibatkan kepala daerah yang sedang menjabat (sang petahana). Pertanyaannya, ada apa gerangan sehingga petahana dengan segala akal dan strateginya ngotot mewariskan jabatannya itu kepada anak atau istri?

Sedikitnya ada dua jawaban. Pertama, para kepala daerah itu menganggap diri mereka bagaikan raja-raja kecil. Dan seperti layaknya kerajaan, takhta pun diwariskan kepada anak. Bahkan, lebih hebat daripada kerajaan, diwariskan kepada istri. Walaupun secara legal formal hal itu syah-syah saja karena diperebutkan dalam proses yang “demokratis”.

Kedua, agar borok dan bobrok semasa jabatannya tidak terungkap. Bila yang meneruskan jabatan itu adalah anak atau istri, selamatlah sang mantan kepala daerah dari upaya sang pengganti untuk membongkar korupsi yang dilakukannya.

Tapi, fenomena patologis politik bagaikan dinasti politik ini tidak akan terjadi bila tidak didukung kekuasaan. Petahana memiliki kekuatan untuk melakukan semua ini, apalagi kalau kepala daerah yang sedang menjabat itu merangkap ketua atau penasihat suatu partai. Terbukalah jalan baginya untuk memaksa partai untuk mencalonkan kroni sang petahana atau bahkan mencalonkan lagi sang petahana walau sudah dua kali menjabat kepala daerah walau hanya mencalonkan sebagai wakil kepala daerah..

Selain kekuasaan, ada politik transaksi. Kroni petahana bisa membeli tiket calon kepala daerah dari partai politik karena mempunyai uang. Tragisnya, uang yang digunakan adalah dari hasil yang patut dicurigai asal-muasalnya.

Fenomena patologis politik itu harus dikritisi. Dalam konteks itulah, apresiasi patut diberikan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang mengatakan tidak patut kepala daerah menunjuk istri atau anaknya menjadi calon penggantinya. Tidak patut, meskipun bisa dinilai demokratis, karena melalui pemilihan umum (sumber kompas.com, 23 Agustus 2010).

“Jika itu terlalu dipaksakan, apalagi dengan pemahaman, tidak ada calon lainnya kok, kecuali keluarga saya, jika seperti itu, saya kira itu politik yang keliru,” kata Presiden saat acara buka puasa di kediaman pribadinya, Minggu (22/8).

Apresiasi akan jauh lebih besar lagi jika Presiden mengambil langkah-langkah konkret. Misalnya, dengan memelopori revisi undang-undang sehingga bisa mencegah meluasnya dinasti politik yang patologis itu.

Fenomena patologis politik ini juga terjadi di kabupaten Tuban. Dengan diusungnya Hj. Haeny Relawatie sang petahana bupati Tuban (yang sudah menjabat dua periode sebagai bupati) sebagai bacawabup dalam pemiluklada Tuban 2011 oleh Partai Golkar (PG).

Fenomena-fenomena patologis politik seperti diuraikan di atas semestinya tidak akan terjadi kalau infrastruktur politik dan demokrasi di negeri ini sudah benar-benar mapan dan tertata rapi sehingga tidak memungkinkan terjadinya fenomena tersebut. Untuk itu kerja keras dan kemauan keras untuk menuju negara demokrasi sejati dari semua pihak masih sangat diperlukan.

Adapun perbaikan yang kiranya diperlukan adalah pertama perbaikan sistem kaderisasi di tingkat partai. Karena bagaimanapun fenomena patologis politik ini tidak akan muncul kalau kaderisasi di tingkat partai berjalan bagus.

Kedua, penegakan hukum terhadap prilaku koruptif para penguasa harus benar-benar ditegakkan seadil-adilnya, sehingga dengan demikian akses dana “tak terbatas” yang dimiliki oleh para petahana untuk digunakan dana kampanye pada pemilukada berikutnya tidak dimungkinkan lagi. Dengan penegakan hukum yang pasti, maka tidak ada para penguasa yang barani menggarong APBD / APBN untuk keperluan kampanye mereka.

Ketiga, yang tidak kalah penting adalah menciptakan sistem agar kiranya hubungan para aparat negara di daerah dan kepala daerah bukan merupakan hubungan yang bersifat “patron dan klien”, dimana dengan hubungan yang bersifat seperti patron dan klien akan menimbulkan ketergantungan yang tinggi para aparat negara di suatu daerah terhadap Sang kepala daerah petahana. Sehingga saat Sang petahana mengajukan “putra mahkota” untuk memperebutkan kembali tahta kepala daerah maka para aparat negara di daerah tersebut mau tidak mau dan suka tidak suka harus mendukung dan menyokongnya.

Untuk menghilangkan atau menghindari hubungan yang bersifat “patron dan klien” ini, maka usulan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN RB) EE Mangindaan agar kiranya diterapkan struktur baru manajemen kepegawaian di daerah, yantg menempatkan bupati atau walikota bukan sebagai pejabat pembina kepegawaian daerah patut didukung dan direalisasikan.
Karena dengan demikian tidak akan ada lagi ketakutan dan kerepotan di kalangan para pegawai negeri, setiap musim pimilukada, terutama jika mereka tidak memilih petahana. Dan nantinya yang seharusnya ditempatkan menjadi pejabat pembina kepegawaian daerah (PPKD) adalah pejabat karir (PNS) tertinggi di daerah tersebut, Sekretaris Daerah misalnya.
Keempat, membuat peraturan bahwa seorang kepala daerah atau wakil kepala daerah yang sudah menjabat dua kali berturut-turut tidak diperkenankan kembali untuk mencalonkan dirinya lagi baik sebagai kepala daerah maupun wakil kepala daerah. Dengan tambahan aturan ini maka memperkecil munculnya dinasti-dinasti politik di tanah air.

Kelima, membuat peraturan bahwa seorang kepala daerah atau wakil kepala daerah dilarang mengajukan istri atau suaminya atau anak atau adiknya untuk dicalonkan menggantikannya dalam pemilukada berikutnya. Hal ini dimaksudkan untuk mengeleminasi exisnya dinasti politik di beberapa daerah yang dibungkus demokrasi.

Semoga dengan solusi-solusi yang ditawarkan tersebut fenomena patologis politik yang sangat marak di seluruh penjuru tanah air ini dan sangat merusak tatanan sistem demokrasi yang sehat bisa dihindari. Sehingga negara kita akan benar-benar menjadi negara demokratis sejati. (AM, akhir September 2010).

*) Isi tulisan tidak mencerminkan suara Fraksi PKB DPRD Tuban
Tulisan ini juga terbit di Harian Radar Bojonegoro tanggal 19 Desenber 2010

, , , , , , , , , , , , , , , , ,

  1. #1 by haryono wibowo on September 30, 2010 - 4:42 pm

    Bupati yang karena sudah dua kali jadi bupati dan mencalonkan jadi wakil bupati = namanya “kemarok” kekuasaan atau GILA KEKUASAAN.
    Jangan pilih dia, dia pasti koruptif dan otoriter serta pasti tak demokratif.

    • #2 by silent on Desember 13, 2010 - 7:16 pm

      emang EDYAN Heny RW dkk
      huahahaaaaaaaaaaaaaaaaaaa

  2. #3 by nurhayati sodiq on September 30, 2010 - 4:46 pm

    Mari kita lawan bupati yang gila kekuasaan seperti Ibu kita ini. Mana ada orang kok mau turun pangkat, kalau tidak ada sesuatu yang dituju. Yang dituju adalah kelanggengan kekuasaan Tuban di bawah kekuasaan dia dan keluarganya nantinya. Dan yang terpenting jejak-jejak borok yang ditinggalkan tidak bisa diendus oleh penggantinya karena penggantinya adalah kambing congek dan bonekanya dia.

  3. #4 by nine star on Oktober 1, 2010 - 8:33 pm

    siapapun berhak mencalonkan diri, mau satu periode, dua periode, tiga periode, saya do’akan MENANG ngis di kemudian hari.

  4. #5 by Dudyk Murdiyatno on Oktober 7, 2010 - 10:20 am

    Wah, ya… ya.. tante khozanah benar nih itu demokrasi yang sakit. Tapi lebih sakit lagi kalau tante nanti menjadi sakit hati lalu jadi psikopath karena jagonya kalah lalu jadi profokator ngajak-ngajak membakar asset Pemda dan milik Calon yang menang.

  5. #6 by PDF Manual on November 30, 2010 - 7:16 pm

    Ironis . . .
    Semoga para pemimpin yang terpilih nanti adalah orang-orang yang Amanah . . .

  6. #7 by aries machmudien on Desember 13, 2010 - 9:38 pm

    Betul sekali yg sampean tulis. Kenapa UU No 32 tahun 2006 dan perubahannya kok nggak ngatur secara rigit dan mengadopsi etika pemerintahan yg baik, menjunjung tinggi moral dan martabat suatu jabatan mulya. Kapan etika pemerintahan, moral dan martabat/marwah jabatan yg begian diatur, Jangan biarkan Kekuasaan Pemerintahan kearah Penyelewengan (corrupt)

  7. #8 by Sodiq on Desember 14, 2010 - 3:22 pm

    Sebenarnya kalau boleh fair, yg perlu dikritik itu tidak hanya yg sudah pernah menjabat 2 kali saja, tapi termasuk yg sudah 2 kali gagal mestinya juga rumongso. Karena tindakan mencalonkan ketiga kali bagaimanapun bentuknya adalah bentuk pengingkaran atas makna demokrasi.

  8. #9 by hadi wasono on Desember 20, 2010 - 3:53 pm

    Pilkada Tuban 2011, sebuah fenomena gila banget, karena jabatan Bupati khususnya Tuban katanya luar biasa uenaaknya. Sehingga Bu Haeny rela nyalon walaupun turun pangkat jadi Wabup, dan Pak Noor Nahar rela buang-buang waktu mungkin juga buang-buang duit, walaupun jelas-jelas pengalaman pahit kekalahan 2 (dua) kali gagal mestinya menjadi pelajaran berharga..
    Mungkinkah apa yang diutarakan baik dalam launching pencalonan, visi dan misi dan dalam kampanye nanti yang tentunya cita-cita yang luhur yang pada intinya akan mewujudkan pelayanan yg baik, pemerintahan daerah yang tidak ada korupsi , kolusi dan nepotisme baik Bupati dan Wakil Bupati maupun aparat / pejabat pemerintahannya, sehingga rakyat keseluruhan dapat merasakan keadilan sosial dan kemakmuran, agaknya kok imposibel karena untuk memenangkan Pilkada sangat menguras dana pribadi maupun sponsor, belum tim pemenangan dan konstituen yang pengalaman saati ini banyak “ngerepoti” minta balas jasa yang luar biasa mempengaruhi kebijakan dan merongrong APBD. Jangan-jangan calon yang saat ini gembar-gembor mengungkit cacat incumbent dg isyu bahwa incumbent korupsinya luar biasa namun kenyataan tidak dapat menjebloskan penjara, akan terperangkap oleh ‘sistem ‘ balas jasa, bahkan ternyata mereka korupsinya lebih gila/dahsyat, karena persoalannya saat ini mereka belum dapat kesempatan (korupsi). Rakyat Tuban saya berpesan ” Ojo gumun dan ojo kagetan” kalau ternyata apa yang mereka idolakan ternyata sama saja, bisa juga lebih buruk.

  9. #10 by minarno on Desember 21, 2010 - 10:33 am

    Betul… tul… tul, saya setuju komentar mas hadi wasono, barangkali kalau meminjam istilah mbah khozanah pemilik blog ini.. , memang patologis pilkada langsung yang calonnnya buang duit buaaanyak, untuk cari duwit ‘balenan’ modal ya aaa akhirnya korupsiiii. Hampir semua pilkada langsung itu buntutnya penyelewengan atau korupsi, bagaimana tentang pelayanan dasar seperti fasilitas sarana-prasarana jalan, jembatan pengairan sawah, pendidikan, kesehatan dll tentunya banyak terbengakalai paling tidak asal-asalan alias kwalitasnya memprihatinkan. Adakah Calon Bupati-Wabup Tuban tahun 2011 ini berani adu konsep dan berani kontrak politik yg isinya jelas-jelas mementingkan pelayanan dan pembangunan dan disaksikan oleh semua kalangan serta dimuat dalam media massa cetak maupun elektronik (TV) ?

  10. #11 by Aria Kamajaya on Desember 30, 2010 - 7:09 pm

    pola pikir dan cara pandang umumnya manusia indonesia tidak lepas dari pengaruh sejarah kerajaan tempo dulu, “kekuasaan mutlak ditangan raja’..sehingga sangat berat ketika suatu jabatan N.1 didaerahnya harus terlepas begitu saja sehingga untuk mempertahankan peran mereka sebagai raja-raja kecil segala cara akan mereka lakukan, hal ini diperparah juga dengan kerakusan dan ketakutan terhadap “sesuatu”, belum lagi pemodal yang menyokong kebutuhan raja kecil ini memberikan “target” terhadapnya.
    apalagi otonomi daerah hari ini menawarkan kekuasaan yang hampir mutlak kepada raja2 kecil untuk bereksperimen terhadap pengelolaan wilayahnya, sehingga kepentingan – kepentingan pribadi dan koloninya yang akan selalu diutamakan, yang pasti dengan tujuan memperkaya diri dan membangun dinasti yang kuat.
    tumpuan rakyak sebenarnya berharap penuh kepada anggota dewan selaku pemeggang amanat dan penyambung lidah sebagai controling perilaku raja beserta jajaranya, jangan lagi Dewan hanya menunggu, menunggu dan menunggu. sudah saatnya dewan jemput bola keakar rumput untuk mendengar,melihat, dan merasakan apa yang terjadi dimasyarakat.
    ketegasan sikap dewan pulalah sebenarnya filter ampuh untuk membatasi ruang gerak dari raja-raja kecil yang nakal.

    semoga pemimpin Tuban kedepan lebih mampu bersikap sebagai manusia serta mampu memanusiakan manusia.

    Aria Kamajaya
    NU JOWO

  11. #12 by joel bryner on Januari 10, 2011 - 4:25 pm

    ngomong opo kuwi, aku gak ngerti… mbulet …jgn2 mas aria gak tau maksudnya…

  12. #13 by Ainut Tijar on Januari 13, 2011 - 8:43 pm

    Hehehehe…. Kekuasaan itu ternyata memabukkan. Contoh Muawiyah pun akhirnya menujuk anaknya Yazid dst. Akhirnya sistem yang dicontohkan sebelumnya ditinggalkanlah. Itulah kekuasaan mbak. Harta, Tahta dan Wanita (Pria Bagi perempuan) itu bisa membuat manusi gelap mata. hehehe….
    Politik adalah wilayah yang syarat dengan pertarungan, karena politik adalah sarana mengekspresikan dan memenangkan kepentingan-kepentingan. Kepentingan terhadap kekuasaan, kepentingan terhadap aset, dan kepentingan lain yang beragam, sesuai dengan beragamnya kelompok politik. Dalam pertarungan kepentingan ini terkadang label teman menjadi tidak bermakna, karena kehilangan ikatannya yang sejati. ”Tak ada teman dan lawan yang abadi, yang ada adalah kepentingan yang abadi”. Begitulah politisi telah mempraktikan. Diakui atai tidak, faktanya kebersamaan hanya sebatas kepentingan. Oleh karenanya sebuah partai sedianya mampu menyelaraskan kepentingan-kepentingan bersama yang muncul agar pengaruh eksternal yang destruktif dapat dieliminasi dan kebersamaan dapat dipertahankan.
    Kepentingan kader dalam politik, baik yang berada digaris depan maupun garis belakang juga harus diselaraskan, agar pengaruh internal individu yang destruktif juga dapat diminimalisasi. Idealisme yang sama adalah perangkat yang dibutuhkan agar partai dapat bergerak mencapai visinya. Ketika kader digaris terdepan tergoda oleh desakan pragmatisme sehingga sibuk berlomba mengumpulkan harta untuk diri dan keluarga, kader di belakang semakin merasakan ada kesenjangan. Disinilah benih apatisme akan muncul. Jika dibiarkan maka semakin lama kader digaris belakang akan semakin merasakan perbedaan kepentingan. Dalam situasi ini benih perpecahan mulai tumbuh bersemi dan kebersamaan mulai pudar. Munculnya statemen-statmen sinis dan sarkasme, menurunnya partisipasi dan inisiatif kader, berkembangnya kelompok-kelompok kepentingan dalam partai adalah sedikit tanda-tanda perpecahan yang mesti diwaspadai.

  13. #14 by Bramantio on Januari 14, 2011 - 10:30 am

    gak ono sing iso dipileh

  14. #15 by m arif zakaria on Februari 8, 2011 - 11:38 pm

    ingat jangan umbar janji kalau gak bisa menepati,kalau berani berjanjilah dengan menyebut Asma Allah .kita butuh bukti bukan janji-janji manis yang selalu digembar-genborkan yang hasilnya kalau terpilih akan lupa janji-janjinya.
    semoga pemimpin Tuban kedepan lebih mampu memahami dan melaksanakan apa yang di inginkan masyarakat(rakyat kecil) tuban.

  15. #16 by dewy on Maret 1, 2011 - 5:20 pm

    betul…betul..betul….!!!

Tinggalkan Balasan ke joel bryner Batalkan balasan