Melawan Hegemoni Petahana dalam Pemilukada

Oleh : Khozanah Hidayati (Anggota FPKB DPRD Tuban) *

Seperti kita ketahui bersama bahwa bupati petahana (incumbent) Tuban dua periode Ibu Dra. Haeny Relawati Rini Widyastuti, MSi mencalonkan kembali dalam pemilukada Tuban 2011, namun karena sudah dua periode menjabat sebagai bupati, kali ini dia mencalonkan sebagai calon wakil bupati berpasangan dengan Kristiawan Sp. MM. Kiprah majunya bupati petahana dua periode dalam pemilukada kali ini banyak menui kontroversi di masyarakat, mengingat semangat pembatasan dua kali jabatan bupati dalam UU No. 32 tahun 2004 yang diperbarui dengan UU No. 12 tahun 2008 “diterabas” karena kalau sekiranya terpilih nanti dan di tengah perjalananya waktu sang wakil bupati naik menggantikan bupati, berarti sang petahana menduduki kursi yang sama tiga periode. Walaupun sang petahana tidak maju untuk jabatan yang sama dan ini (untuk sementara) dibenarkan oleh peraturan yang ada, namun semangat yang diusung oleh undang-undang tersebut tercederai.

Fenomena petahana maju kembali dalam pemilukada sekarang ini menjadi tren. Dan secara statistik kiprah majunya para petahana dalam pemilukada di berbagai daerah secara umum menunjukkan bahwa para petahana akan lebih mudah memenangkan pemilukada, coba kita simak data yang dibeber LSI (Lemabaga Survey Indonesia) berikut ini, bahwa dari 146 pemilulada yang digelar tahun ini sebanyak 82 daerah atau 56 persen pemilukada yang dimenangkan oleh petahana (data sampai September 2010) dan pemilikada yang dimenagkan petahana tersebut diwarnai partisipasi pemilih yang cukup tinggi rata-rata di atas 70 persen. Bahkan beberapa daerah mencapai 85 persen. Bahkan kemenangan petahana mayoritas diraih dalam satu putaran dengan menang telak 80 persen.

Dari data tersebut menunjukkan bahwa hegemoni petahana dalam setiap pemilukada selalu saja terjadi. Dan ini tentunya akan menjadikan preseden buruk kalau sekiranya sang petahana memanfaatkan jabatan yang sedang diembannya untuk memperlancar dan menyukseskan pencalonanya. Hal ini berarti tidak ada prinsip kesamaan dalam demokrasi. Padahal dalam berdemokrasi harus dianut sistem kesamaan hak dan kesamaan perlakuan atas semua warga negara dalam bidang politik. Sehingga pertarungan politik dalam pemilukada seharusnya diawali oleh kedudukan yang setara antar pasangan calon, tidak ada yang diuntungkan karena dia sedang menjabat.

Masalah yang timbul terkait dukungan bagi calon petahana yang masih memanfaatkan fasilitas negara dan “kekuasaannya” adalah adanya ketidakadilan dan pelanggarana-pelanggaran peraturan yang ada. Dan tentunya hal ini akan menjauhkan sang petahana dari aspek integritas moral yang mestinya dijadikan syarat utama bagi calon kepala daerah kalau memang ingin daerah tersebut bersih dari perkara korupsi nantinya.

Pendapat Prof. Ryaas Rasyid (2010) yang mengatakan bahwa calon petahana cenderung memanfaatkan jaringan pemerintahan dan fasilitas negara untuk kepentingan politik adalah benar adanya. Padahal, petahana mestinya justru memberikan manfaat bagi proses demokrasi yang bersih dan berwibawa yang berlangsung di daerah kekuasaannya. Bukan justru menunjukkan hegemoninya. Untuk itu hegemoni petahana harus dilawan atau minimal dibatasi dengan alasan-alasan seperti dipaparkan dibawah ini.

Kesatu, etika politik yang elegan dan bermartabat dalam pemilukada sangat sekali perlu dijunjung tinggi. Kepala daerah terpilih mestinya bupati / wali kota yang bermartabat, berintegritas dan memiliki legitimasi yang kuat, tidak curang untuk mendapatkan kedudukannya. Sehingga nantinya ketika menjabat dapat melaksanakan amanah, tugas, dan tanggung jawab dengan baik dan benar.

Kedua, prinsip kesamaan hak dan kesamaan perlakuan atas setiap pasangan calon dan setiap warga negara dalam bidang politik harus selalu dijunjung tinggi dalam setiap proses demokrasi. Sehingga pertarungan politik seharusnya diawali oleh kedudukan yang setara.

Ketiga, sulitnya membedakan kegiatan program pemerintah dengan program tebar pesona sang petahana, khususnya yang berhubungan kegiatan berbasis masa banyak. Tidak sedikit program pemerintah yang diklaim sebagai program pribadi petahana. Atau program pemerintah yang mestinya belum waktunya diresmikan namun “terpaksa” diresmikan demi dijadikan aktivitas kampanye terselubung. Atau bahkan banyak sekali program-program pemerintah yang sengaja diset untuk menunjukkan hegemoni sang petahana. Misalnya di saat spanduk dan banner para cabup non petahana untuk tebar pesona diseluruh pelosok dibongkar paksa Satpol PP, sang petahana dengan tenangnya menebar pesonakan foto dirinya di seantero kota dan pelsosok dengan kedok ucapan selamat aidul fitri kepada rakyatnya.

Keempat, mobilisasi dan netralitas birokrasi. Bukan berita baru kalau disinyalir dengan posisi petahana sebagai kepala daerah yang sedang menjabat selalu mendorong mobilisasi birokrasi untuk menjadi tim sukses kemenangannya. Dan bahkan memanfaatkan kedudukannya untuk menggeser para aparat di bawahnya yang tidak bersedia mendukungnya lagi dalam pemilukada. Hal ini tentunya sangat bertentangan dengan peraturan yang ada karena tentunya mengganggu netralitas dan kinerja pemerintahan.

Kelima, potensi korupsi sarana prasarana dan dana APBD. Meskipun tidak bisa digeneralisasikan secara detail, terdapat potensi petahana akan menyalahgunakan kekuasaan baik langsung maupun tidak langsung untuk menggunakan sarana dan prasarana pemerintah daerah untuk meraih dukungan politik. Dan bahkan ada potensi penyelewengan dana APBD dipergunakan untuk menebalkan dukungan masyarakat terhadap sang petahana.

Keenam, independensi dan objektivitas dalam mengambil keputusan sebagai kepala daerah. Sangat mungkin dalam masa transisi sang petahana hanya akan mengambil keputusan yang menguntungkan dirinya saja dalam rangka politik pencitraan, sedangkan masalah yang sekiranya merugikan akan ditunda penyelesaiannya. Misalnya pengucuran dana bantuan kepada guru-guru sekolah diniyah yang selama ini tidak mendapat tunjangan, namun tiba-tiba di saat sang petahana memerlukan pencitraan dirinya bantuan dana tersebut disalurkan.

Dengan kuatnya potensi – potensi hegemoni petahana di segala lini tersebut, maka sudah seyogyanya sang petahana harus bertindak fair dan jujur di setiap langkah politiknya dalam mengkampanyekan dirinya dalam pemilukada. Karena bagaimanapun majunya proses demokrasi di daerah tersebut tentunya juga tidak lepas dari peran dia sebagai kepala daerah.

Kalau proses demokrasi sudah bisa berjalan secara substansial maka jalanya pemilukada akan benar-benar demokratis, fair dan damai tanpa pertentangan yang berarti. Dan demokrasi substansial yang diidam-idamkan semua rakyat bisa terwujud bukan demokrasi prosedural yang seperti selama ini di tenggarai terjadi.

Melawan Hegemoni Petahana
Tidak selamanya hegemoni petahana bisa selalu memenangkan suatu pemilukada. Misalnya kasus di Gresik , pasangan yang di back up penuh oleh petahana yakni pasangan Husnul Khuluq – M. Musyafak Nur (HUMAS) justru dikalahkan oleh pasangan non petahana pasangan Sambari Halim – Moh. Qosim (SQ). Demikian juga di Mojokerto kekalahan pasangan Suwandi dan Wahyudi Iswanto (WASIS) yang notabene sebagai calon petahana dikalahkan secara telak oleh pasangan Mustafa Kemal Pasha dan Khoirun Nisa (MANIS).

Kenyataan politik tersebut di atas setidaknya bisa dijadikan penyemangat bagi calon non petahana untuk tidak patah semangat dan bisa berfikir cerdas serta bekerja keras untuk menumbangkan mitos politik bahwa calon petahana karena hegemoni yang dimilikinya sangat sulit dikalahkan. Untuk itu pasangan non petahana harus belajar banyak dari kemenangan pasangan non petahana saat melawan kekuatan petahana di daerah lain.

Di samping itu ada beberapa tausiah politik yang sekiranya bisa dilakukan oleh pasangan non petahana untuk melawan hegemoni petahana, yakni pertama, memprioritaskan pemilih pemula, pemilih cerdas, pemilih golput dan swing votter (Umar Sholahudin, 2010). Yang dimaksud dengan pemilih cerdas adalah pemilih yang akan mendasarkan pilihannya dalam pemilukada nanti berdasarkan hati nurani dan otaknya bukan berdasarkan ikatan emosional semata. Pasangan calon non petahana harus mampu meyakinkan pemilih pemula dan pemilih cerdas dengan menawarkan program kerja yang nyata berdasarkan kebutuhan mereka. Dan juga harus bisa manarik kelompok swing votter dan golput untuk dirayu agar mereka melakukan pilihan dalam pemilukada kali ini karena akan pentingnya perubahan dalam kabupaten tercinta.

Kedua, pasangan non petahana juga harus mampu merangkul “barisan sakit hati” yang tersingkir dari pusat kekuasaan sang petahana. Kelompok ini tentunya sudah faham akan trik dan pola permainan yang dilakukan petahana sehingga untuk melawannya tentunya lebih mudah.

Jika calon non petahana mampu memanfaatkan potensi suara tersebut (pertama dan kedua) di atas, penulis yakin hegemoni calon petahana bisa ditaklukkan. Calon non petahana harus mampu memberikan sesuatu yang baru dan beda serta menawarkan agenda perubahan yang riil, menawarkan janji-janji politik yang realistis dan terukur, yang kesemuanya bisa diterima pemilih. Selain itu, calon non petahana harus mampu meyakinkan pemilih tersebut, bahwa janji-janji politik yang dikampanyekan bukan basa-basi politik, tapi janji-janji politik tersebut sangat realistis dan terukur yang bisa dinikmati pemilih.

Ketiga, calon non petahana juga harus pandai memanfaatkan jalur-jalur non politis, seperti jalur sosio-budaya, jalur spiritual keagamaan, dan jalur lainnya yang selama ini terpinggirkan oleh sang petahana.

Keempat, edukasi politik terhadap rakyat harus digalakkan dan diintensifkan sampai ke tingkat akar rumput. Agar hegemoni sang petahana yang bertendensi menyalahi prosedur dan peraturan seperti dipaparkan di atas tadi bisa dimengerti oleh semua lapisan masyarakat. Sehingga dengan demikian masyarakat akan mengetahui mana yang baik dan mana yang bathil dalam ajang demokrasi pemilukada.

Kelima, para calon non petahana juga harus merapatkan barisan untuk mengikis dukungan suara petahana di kantong-kantong unggulan sang petahana. Sehingga dengan demikian hegemoni dan sesumbar sang petahana yang menguasai daerah tertentu dan tidak bisa diganggu gugat bisa terpatahkan.

Keenam, membuat peraturan yang jelas dan jangan sampai multi tafsir bahwa setiap petahana yang mencalonkan kembali dalam pemilukada baik sebagai calon kepala daerah ataupun calon wakil kepala daerah harus mengundurkan diri dari jabatannya semenjak sang petahana mendaftarkan diri ke KPUD. Dan juga harus dibuat peraturan yang memberikan sangsi yang sangat berat bagi setiap petahana yang memanfaatkan jabatan atau hal-hal seperti diuraikan di atas bagi terpilih kembalinya sang petahana.

Ketujuh, para calon non petahana harus mendesak kepada penyelenggara dan pengawas pemilukada, yakni KPUD dan Panwas agar bertindak jujur dan adil serta profesional. KPUD serta Panwas harus menjadi penyelenggara dan pengawas yang netral dan berani bertindak tegas terhadap pelanggaran yang mungkin dilakukan setiap pasangan calon bahkan calon petahanapun. Calon non-petahana, juga harus mendesak agar Panwas bekerja secara professional dan tidak seperti macan ompong, yang setiap ada pelanggaran politik dan kampanye cenderung dibiarkan sebagaimana yang terjadi pada Pileg lalu. Panwas harus lebih mengawasi secara ketat calon petahana, karena calon petahana yang memiliki peluang untuk melanggar lebih besar dibanding calon non petahana.

Dengan kata lain, dengan di dukung pelaksanaan pemilukada yang jujur dan adil serta pengawasan yang ketat, bukan tidak mungkin calon non petahana mampu mengalahkan calon petahana, atau setidaknya bisa bersaing secara ketat dan sehat serta fair. Dan peluang calon non petahana untuk menang atau menjadikan pemilukada dua putaran bukanlah sebuah mimpi politik di siang bolong.

Namun kalau sekiranya sang petahana mempinyai visi, misi dan program – program kerja yang bagus dan memihak rakyat serta tidak mengutamakan kepentingan keluarga maupun kelompok sang petahana, dan dibuktikan di tataran implementasi yang menawan layaklah sang petahana dipilih kembali, bahkan layak pula sang petahana dibantu mendulang suara dari masyarakat. Namun jika sebaliknya dan juga ada calon lain yang lebih layak karena mempunyai visi dan misi serta program kerja yang lebih merakyat. Dan calon tersebut juga mumpuni serta mempunyai integritas moral yang sudah teruji tentunya itulah yang layak dipilih.(10 January 2011).

*) Isi artikel adalah murni pendapat pribadi dan tidak mencerminkan pendapat FPKB DPRD Tuban

, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

  1. #1 by Aria Kamajaya on Januari 17, 2011 - 7:17 pm

    berarti undang2nya yang perlu dirubah karena masih ada celah yang bisa dimanfaatkan

  2. #2 by Nurcholis Mansyur on Januari 18, 2011 - 10:16 am

    Awas perpecahan di Tubuh NU. Salah satu biang keroknya kader NU sama-sama mencalonkan diri. Ambisi pribadi tokoh2 NU kayaknya sulit Pak Huda-Nur menang, karena Pasangan Hudanur bukan saja melawan pesaing kuatnya yaitu pasangan Kris-Haeny (patahana) tapi suaranya juga dipecah-pecah oleh kadernya yang mendukung pasangan lain yg notabene konon kabarnya kader NU juga seperti Pak Chamim, M. Anwar, Setiajid. Awas… ada biang kerok….

  3. #3 by Drs SUWARNO MPd on Januari 20, 2011 - 7:05 pm

    Saya telah lama belajar ilmu “sincronicity” dari seorang spiritualis Amerika bernama Wayne W Dyer. Menurut pemahaman saya berdasar ilmu tersebut, tanda-tanda lahiriah yang muncul Pemilukada Tuban 2011 ini, pasangan HUDANOOR memiliki sinkronitas keunggulan yang berada di puncak. Tanda-tanda kemenangan sebetulnya telah jelas dan gamblang. Apalagi bagi mereka yang cermat membaca tanda-tanda zaman (Zeigeist). Yang paling unik menurut ilmu “sincronicity” pada fenomena nomor urut 4, dari perspektif ilmu yang saya pelajari pasangan HUDANOOR memiliki banyak keunggulan. Angka empat adalah lambang QUADRANT. Sebagai pengusaha yang super sukses di kota Tuban Pak Huda tentu telah sangat mafhum dan mengaplikasikan QUADRANT power ini. Angka empat juga singkron dengan jumlah saudara Pak Huda yang kebetulah 4. Jumlah Putra Pak Huda juga 4. Kebetulan tanggal dan bulan pelaksanaan Pemilukada Tuban , tanggal 1 bulan ke 3 jumlahnya 4. Tahun 2011 kalau dijumlah juga 4. Partai pengusung waktu deklarasi jumlahnya 4. Jumlah huruf panggilan akrab calon Tuban 1 ini : HUDA , jumlahnya 4, wakilnya NOOR jumlahnya 4, Jadi, Pemilukada tahun ini betul-betul momentumnya pasangan HUDANOOR, semoga Allah SWT, Dzat Yang Maha “Singkron” segera mensikronkan pasangan ini dengan “hak-hak” kekhlifannya di bumi Ronggolawe tercinta ini. Amin ya Mujibassailin.

  4. #4 by Drs. Suwarno, MPd on Januari 22, 2011 - 6:33 pm

    maaf ada yang sedikit salah cetak untuk tulisan saya di atas, yang betul “hak-hak” kekhalfahannya. bukan kekhilafannya, I am so sorry for mistyping

Tinggalkan Balasan ke Nurcholis Mansyur Batalkan balasan