Hari Kartini, Antara Kebaya dan Emansipasi

Oleh : Khozanah Hidayati (Anggota DPRD Jatim, Fraksi PKB)

Hari ini, 21 April adalah hari lahirnya Raden Ajeng Kartini. Sudah 136 tahun peristiwa kelahiran tersebut terjadi. Namun kelahiran beliau tersebut tetap dikenang dan diperingati di seantero negeri ini sebagai Hari Kartini. Karena kepeloporan beliau terhadap emansipasi wanita dan perjuangan terhadap kesetaraan genderlah hari tersebut dikenang dan diperingati.

Sekarang Kartini identik dengan kebaya. Hari ini, sudah bisa dipastikan sejumlah karyawan wanita akan mengenakan “pakaian nasional” (kebaya, kain dan sanggul) ke kantor. Begitu juga anak-anak perempuan yang masih sekolah TK, SD, SMP dan SMU akan mengikuti lomba berpakaian nasional ala RA. Kartini atau membaca surat-surat RA. Kartini. Begitu melegendanya pahlawan emansipasi wanita negeri ini, sehingga hampir semua anak bangsa pasti mengetahui dan hapal lagu “Ibu Kita Kartini” yang membahas tentang kepahlawanan emansipasinya.

Namun patut disayangkan, banyak kaum wanita negeri ini yang hanya mengaitkan RA. Kartini dengan kebaya dan surat-suratnya itu, yang termuat dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang. Jarang orang yang membicarakan tuntutan RA. Kartini terhadap belenggu atau kungkungan adat istiadat yang menyebabkan kaum wanita negeri ini tertinggal.

Sehingga dengan peringatan hari lahir RA. Kartini yang hanya berkisar antara kebaya dan surat-suratnya itu akan kehilangan esensi dan tujuan dari perjuangan RA. Kartini sendiri perihal emansipasi wanita dan perjuangan melawan dari kungkungan budaya yang feodalistik, kolonialis dan patriaki.

Semestinya peringatan Hari Kartini tidak hanya menonjolkan lomba berkebaya, menyanyikan lagu “Ibu Kita Kartini” atau membaca surat-surat RA. Kartini semata, namun juga harus menonjolkan atau membahas perlawanan beliau terhadap tradisi adat yang mengungkung kaum perempuan. Dan juga harus mengekspose perjuangan RA. Kartini perihal emansipasi wanita agar mendapat pendidikan yang layak, mendapatkan pemeliharaan kesehatan yang baik dan lain sebagainya.

Di sekeliling kita masih banyak wanita yang dipoligami, wanita yang mendapatkan perlakuan kekerasan dalam rumah tangga dan bahkan masih juga banyak ditemukan wanita yang menjadi korban trafficking dan bahkan akhir-akhir ini ada wanita yang dijadikan obyek gratifikasi oleh para pejabat korup yang justru sebenarnya mereka berkewajiban melindungi wanita.

  1. Kartini mestinya akan sedih dan menangis jika melihat kondisi wanita negeri ini sekarang. Wanita hanya dijadikan “pelengkap penderita” belaka. Coba lihatlah kuota 30 persen sebagai syarat di daftar calon legislatif, ini hanya pelengkap syarat saja suatu partai bisa mengikuti pemilu, kenapa tidak sekalian mensyaratkan keterpilihan minimal 30 persen wanita terhadap total jumlah anggota parlemen dengan aturan yang jelas-jelas affirmative action bukan affirmative action semu seperti sekarang ini.

Coba tengok juga para wanita cantik dan seksi (biasa disebut Sales Promotion Girl / SPG) hanya dijadikan pajangan di setiap even besar pameran kendaraan bermotor atau produk-produk consumer good. Kenapa mereka harus dijadikan penarik minat kaum adam untuk melihat – lihat produk yang sedang dipamerkan, kenapa tidak mengandalkan keunggulan produk dan pelayanan yang purna untuk menggaet calon pembeli atau pelanggan.

  1. Kartini harus dikenang bukan karena kebayanya tapi dikenang dari gagasan dan ide perjuangan yang dilakukannya, sebagai pelopor kebangkitan perempuan. Kartini telah memperjuangkan harkat dan martabat wanita yang selama ini masih tetap saja dimarjinalkan.

Perjuangan RA. Kartini tersebut dilakukan dalam kondisi masyarakat negeri ini yang masih dikungkung oleh kolonialiesme Belanda dan dikangkangi adat-istiadat yang feodalistik dan patriaki yang mendarah daging. Kondisi Kartini saat itu dalam situasi zaman penjajahan dan masih dalam kondisi sulit segalanya. Namun beliau bisa menghimpun jaringan yang lebih luas dengan menumpahkan segala uneg-unegnya kepada sahabat-sahabat penanya di benua Eropa. RA. Kartini mampu menghimpun sumberdaya sehingga bisa mendirikan sekolah khusus wanita yang bercita-cita menghilangkan kebodohan di dalam kaumnya. Namun sayang cita-cita luhur RA. Kartini akhirnya tergilas roda zaman, RA. Kartini wafat karena melahirkan setelah dipoligami oleh Bupati Rembang K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat.

Semestinya para penerus RA. Kartini di zaman sekarang yang mempunyai kesempatan lebih untuk berjuang menegakkan emansipasi dan kesetaraan gender. Perjuangan itu bisa digerakkan dengan lantang dan mudah mengingat kemajuan dunia teknologi informasi sudah kian maju. Kalau RA. Kartini hanya bisa menulis surat dan menyuarakan perjuangannya lewat surat-menyurat kepada sahabat penanya yang terbatas, tentunya wanita sekarang akan bisa lebih luas dalam menyuarakan perjuangan tersebut baik itu lewat sarana email, Twitter, Facebook, Instagram dan media-media konvensional seperti koran dan majalah maupun lewat-lewat seminar-seminar dan lokakarya. Dan bahkan bisa lewat organisasi baik organisasi kemasyarakatan, organisasi politik maupun organisasi sejenis Lembaga swadaya Masyarakat (LSM).

Dengan didukung kemajuan di bidang teknologi informasi, regulasi dari pemerintah yang semakin berpihak kepada emansipasi wanita dan kemajuan dalam bidang pendidikan, tentunya perjuangan emansipasi wanita akan bisa lebih optimal diupayakan dan tentunya kesadaran para kaum pria untuk memberikan ruang yang lebih terhadap adanya kesetaraan gender maupun emansipasi wanita akan lebih diharapkan untuk mewujudkan cita-cita luhur RA. Kartini tersebut. (KH, 14 April 2015).

, , ,

  1. Tinggalkan komentar

Tinggalkan komentar