“Tender-tenderan”

Oleh : Khozanah Hidayati (Anggota FPKB DPRD Tuban)

Tuban, 10 Juni 2010

Saat ada kasus “pengancaman” sesama peserta tender dengan memggunakan pistol saat lelang pekerjaan proyek fisik SD dan SMP di Dinas Pendidikan Tuban, akhir Mei 2010 lalu (berita Radar Bojonegoro 25 Mei 2010) saya jadi teringat akan kisah dari seorang teman bahwa di suatu negeri Antahberanta, Kabupaten Ngastina tender suatu pekerjaan atau pengadaan barang dan jasa hanyalah “tender-tenderan” yang tujuannya hanya memenuhi atau memenuhi syarat legal formal belaka alias mengelabuhi peraturan yang ada. Sehingga diatas kertas seolah-olah setiap pelelangan pekerjaan pengadaan barang dan jasa telah berlangsung sesuai peraturan yang ada, namun kenyataan yg terjadi adalah sebaliknya.

Sejatinya sebelum pelelangan dilakukan, pemenang tender sudah ditentukan. Dan yang menetukan proyek a untuk si-A, proyek b dan proyek c untuk si-B serta menentukan pemenang masing-masing proyek adalah orang “kuat” yang nantinya akan menerima fee sebesar 10-20% dari setiap proyek yang dikerjakan, demikian teman saya tadi bercerita. Dan yang menggirislkan hati ternyata pembagian proyek seperti ini sudah berlangsung sejak lama dan konon juga melibatkan para anggota DPRD dari kelompok si orang “kuat” tersebut.
Saat pelaksanaan tender, para peserta yang datang mengikuti tender tersebut biasanya sudah didekati oleh si calon pemenang tender untuk mengalah saat pelaksanaan lelang dengan imbalan tertentu dan kalau ada peserta yang tidak bisa diatur biasanya akan timbul ketegangan.

Makanya kalau ada rekanan kontraktor yang mengikuti suatu tender tanpa persetujuan dari si-bakal pemenang atau “amul” , maka dia akan dijuluki “Gerandong” dan biasanya “Gerandong” akan dikucilkan dari komunitas para pemborong yang setuju dengan sistem “tender-tenderan” ini. Dan lucunya justru kontraktor “Gerandong” ini biasanya akan “survive” karena keuntungan yg didapat tidak akan dibagi-bagi ke si orang kuat tadi.
Karena adanya “kong-kalikong” antar peserta tender ini dan juga difasilitasi oleh pihak panitia tender, maka perbuatan ini tidak akan bisa dilihat secara kasat mata. Apalagi secara administratif di atas kertas sudah sesuai dengan peraturan yang ada. Jadi walaupun sejatinya secara substantif proses tender ini menyalahi aturan namun akan sulit untuk melacaknya secara hukum karena sulitnya didapatkan bukti-bukti hukum.
Karena teringat cerita dari negeri Antahberantah ini, saya jadi berpikiran apakah proses tender di Kabupaten tercinta ini sudah meniru gaya tender di kabupaten Ngastina tersebut? Semoga saja tidak dan kasus penodongan tempo hari hanya isapan jempol belaka. Karena kalau tenggara tersebut benar adanya berarti proses tender tersaebut sudah menyalahi peraturan yang ada, yaitu Kepres No. 80 Tahun 2003 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang / Jasa Pemerintah serta Peraturan Presiden No. 95 Tahun 2007 perihal perubahan tentang peraturan di atas. Karena esensi diberlakukannya peraturan tersebut adalah agar pelaksanaan pengadaan barang / jasa yang dibiayai oleh APBN / APBD berlaku secara efesien, efektif, terbuka dan bersaing transparan, adil / tidak diskriminatif dan akuntabel. Jadi kalau sampai terjadi ‘tender-tenderan” tentunya ini menyalahi peraturan tersebut dan menmgabaikan amanat rakyat.
Agar persoalan yang penulis khawatirkan tidak terjadi tentunya bisa dilakukan antisipasi secara cermat, misalnya meninggalkan pelelangan pengadaan barang / jasa secara manual dan memberlakukan pengadaan barang / jasa dengan Sistem Pengadaan Secara Electronik.” dimana tidak ada pertemuan secara langsung antara panitia tender, kontraktor peserta tender dan instansi pemilik proyek, sehingga diminimalkan terjadinya “kong-kalikong” dan akan terjadi persaingan harga yang sangat kompetitif antar kontraktor peseerta tender. Dan ujung-ujungnya efesiensi biaya akan didapat.
Secara garis besar bisa diuraikan bahwa tender secara manual mempunyai beberapa kelemahan dibandingkan dengan secara elektronik. Tender secara manual bisa menimbulkan inefisiensi biaya hingga 20% (Sumber Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang / Jasa Pemerintah – LKPP). Dan sangat rentan akan tindak pidana korupsi dengan terjadinya rekayasa tender (tender-tenderan). Dan bagi tim lelang tender secara manual mempunyai tingkat tanggungjawab lebih berat dibandingkan penghargaan yang didapat, makanya dengan implementasi secara elektronik (e-procurement) akan membuat proses tender berlangsung secara aman dan nyaman bagi semua pihak yang terkait.
Implikasi positif lain dari e-procurement adalah meminimalkan adanya “kong-kalikomg” antar peserta tender dan juga meminimalkan adanya “uang mundur” bagi peserta tender, serta meminimalkan adanya sanggahan banding. Dan yang lebih penting lagi adalah meniadakan adanya “Penunjukan Langsung” (PL) dalam sistem pengadaan barang / jasa, karena PL sangat dekat sekali dengan LP (Lembaga Pemasyarakatan). Bagaimana tidak dekat dengan LP, kalau untuk proses suatu Penunjukan Langsung sangat rentan sekali terhadap ajakan untuk menyalahi peraturan yang ada.
Maka secara garis besar implikasi e-procurement adalah terciptanya efektivitas dan efisiensi lelang, tercapainya mutu barang/jasa sesuai kebutuhan, meningkatkan jumlah dan kompetisi kontraktor / vendor peserta lelang secara sehat, dan memudahkan monitoring-evaluasi.
Sehingga jika nantinya diterapkan e-procurement atau lelang secara elektronik maka akan didapatkan efisiensi biaya APBN / APBD dan tentunya bisa dijadikan tambahan modal untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat. Dan semakin sedikit ditemukannya para abdi negara yang terjerat kasus korupsi karena proses pengadaan barang / jasa yang bermasalah. Serta bagi para kontraktor atau vendor akan semakin dituntut untuk meningkatkan profesionalitasnya, sehingga nantinya ekonomi biaya tinggi akan semakin hilang karena semua pihak sudah berlaku jujur dan profesional. (AM, 10 Juni 2010).

, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

  1. #1 by syukriy on Juli 6, 2010 - 5:09 pm

    Salam kenal, bu.
    Saya adalah salah seorang pemerhati pengelolaan keuangan daerah, terutama bagaimana peran dan fungsi DPRD.
    Semoga ibu sukses selalu. Amin.

  2. #2 by minarno on Desember 21, 2010 - 11:47 am

    Aku sbg orang swasta jadinya bertanya-tanya :
    – Apa sampean atau kelompok sampean selama ini nggak kebagian, katanya Fraksi lain bukan kok F PG juga kebagian ?
    – Jujur mbak, kalau nanti yang jadi Bupat-Wabup Tuban dari kalangan Sampean, apa nanti nggak pakai cara-cara seperti “tender-tenderan” mengingat modal pilkada itu besar sekali, gimana cari duwit ‘balenan’ dan cari untung ?, apalagi gerbong partai sampean banyak dan kayaknya rasanya ‘ kehausan dan kelaparan’ sekali selama ini ? jadinya Ajiii mumpungg gitu lho mbak ?

  3. #3 by Doel on Juli 23, 2011 - 3:32 pm

    ingat suara rakyat suara Tuhan…!!
    (Apa bener para wakil rakyat masih peduli ini adagium ini….??? )
    kalo emang msih peduli,tolong donk kita serius dalam memperjuangkan usulan – usulan yang notabene juga bagian dari rakyat Tuban….

    1. Jadilah politisi dikantor DPRD yang selalu memenangkan kepentingan rakyat semua kelompok.
    2. jadikan peran budgetting sebagai wakil rakyat dengan tata kelola anggaran pemerintah daerah yang effektive dan efisien serta Accountable
    3. ajak kelompok rakyat ini untuk berembuk dalam memperbaiki tatanan pemerintah daerah guna tercipta kebaikan bersama.
    4. jangan hanya dibaca usulan ini.tolong ada follow up.saya tunggu keberhasilannya.
    thanks

Tinggalkan komentar