Archive for category Kesetaraan Gender

Perempuan PKB Siap Digerakkan Hadapi Pilkada

Untuk mendukung calon yang diusung partai kebangkitan bangsa(PKB) pada Pilkada serentak di 19 kabupaten/kota akhir 2015, Dewan Pimpinan Wilayah Perempuan Bangsa (DPW PB) Jatim berinisiatif membentuk Kader Penggerak Partai (KPP) hingga tingkat desa.
Pembentukan KPP sampai tingkat desa ini untuk mensolidkan suara Nahdliyin perempuan yang mayoritas tersebar di tingkart desa. “Suara pemilih perempuan itu jumlahnya lebih besar daripada laki-laki, karena itu Perempuan Bangsa ingin mensolidkan suara perempuan agar calon yang diusung PKB bisa menang di Pilkada mendatang,” ujar ketua DPW PB Jatim, Hj Anisah Syakur di sela konsolidasi perempuan bangsa Jatim untuk menang Pilkada se Jatim di Wisma Sejahtera Ketintang Surabaya, Rabu (1/4).
Dari 19 daerah yang akan menyelenggarakan Pilkada, kata perempuan yang juga anggota DPRD Jatim dari FPKB, PKB memiliki peluang besar menang di sembilan daerah karena berhasil menempatkan kadernya duduk sebagai kepala daerah maupun wakil kepala daerah.
“Sembilan daerah yang berpeluang besar dimenangi PKB adalah Blitar, Lamongan, Situbondo, Trenggalek, Pasuruan, Mojokerto, Sumenep, Banyuwangi dan Tuban,” terang Hj Anisah Syakur didampingi sekretaris DPW PB Jatim, Hj Anik Maslachah.
Selain menyiapkan KPP, DPW PKB Jatim juga menyiapkan sejumlah kader perempuan PKB untuk bisa bertarung di arena Pilkada. Namun demikian, lanjut Anisjah , perempuan PKB menyerahkan sepenuhnya kepada DPW dan DPP PKB. “Kalau bisa dari kader partai sendiri. Tapi kalau peluangnya kecil, yah lebih baik jangan dipaksakan,” dalihnya.
Menurut Anisah, kader Perempuan Bangsa yang berpeluang maju menjadi calon kepala daerah maupun wakil kepala daerah di Jatim diantaraya Khozanah di Bojonegoro, Kartika Hidayati di Lamongan dan Arzeti Bilbina di Surabaya.
“Tapi semua itu tergantung dari DPP PKB, karena belum tentu keinginan PB sama dengan keinginan partai,” tambahnya.
Masih di tempat yang sama, Ketua DPW PKB Jatim, H Abdul Halim Iskandar menegaskan bahwa penentuan calon kepala daerah atau wakil kepala daerah yang diusung PKB di Pilkada mendatang bukan hanya berdasar pada suara kader tetapi juga berdasar pada hasil survey agar peluang menang bisa terukur dengan baik.
“Kita itu dalam menentukan calon jangan hanya berdasarkan perasaan berpeluang menang. Tapi juga harus mengacu pada hitung-hitungan politik dan survey,” tegas priayang juga menjabat ketua DPRD Jatim ini.
Dalam konsolidasi perempuan bangsa Jatim untuk menang Pilkada se Jatim, turut pula hadir ketua umum DPP PB, Hj Masrifah dan sekjen DPP PB, Hj Luluk Nur Hamidah serta pengurus DPC PB kabupaten/kota se Jatim. [cty] (dikutip dari Harian Bhirawa, 2 April 2015)

 

, , ,

Tinggalkan komentar

Kartini: Perempuan di Balik Pergerakan Kebangsaan

135 Tahun Kartini
ASATUNEWS – Senin ini, 21 April 2014, usia Kartini seandainya masih hidup adalah 135 tahun. Karena, perempuan hebat ini lahir pada 21 April 1879 di Jepara, Jawa Tengah.
Baca entri selengkapnya »

,

Tinggalkan komentar

Perempuan Bukan Hanya Peran Domestik

Oleh :
Ari Kristianawati
Guru SMAN 1, Sragen, Jawa Tengah.

Hak partisipasi perempuan dalam politik Indonesia, telah diatur undang-undang. Dan terbukti, memperoleh perhatian masyarakat pemilih. Hal itu disebabkan pemilih perempuan sedikit lebih banyak dibanding laki-laki. Apalagi perempuan jarang sekali menelantarkan hak pilihnya. Sedikit sekali yang golput. Partai-partai besar yang lolos electoral threshold (ET) pada pemilu 2009 lalu, terbukti mengakomodasi perempuan menjadi calon legislatif.

Baca entri selengkapnya »

, ,

1 Komentar

Tingkat Melek Huruf Perempuan Tuban Masih Rendah

Direktur Koalisi Perempuan Ronggolawe (KPR) Tuban, Nunuk Fawziyah, S.Pd, menyatakan, mayoritas ibu-ibu di Tuban buta huruf. Hasil survey yang dilakukan KPR, menemukan sekitar 70 persen ibu-ibu tidak bisa baca tulis dan minim pengetahuan dasar. “ Rata-rata ibu-ibu di pedesaan tidak sempat menikmati bangku sekolah, terutama di desa-desa yang masuk kategori tertinggal,” jelas Nunuk, Jumat (21/1).

Rendahnya pengetahuan tersebut, lanjut Nunuk, berakibat banyaknya kaum ibu yang menjadi korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). KPR mencatat, hingga Desember 2010 kemarin sedikitnya 99 kasus KDRT terjadi di Tuban. Dari jumlah tersebut, 65 persen dialami kaum ibu di pedesaan.

Baca entri selengkapnya »

, , , , , ,

2 Komentar

Perempuan Harus Berpolitik dan Turut Mengambil Kebijakan

Jakarta – Banyak kebijakan dalam bentuk undang-undang maupun peraturan daerah, mendiskriminasi perempuan. Hal itu terjadi karena para pembuat kebijakan, yang didominasi laki-laki, tidak memiliki gambaran bagaimana melindungi dan memajukan perempuan. Perempuan harus berpolitik masuk parlemen.

“Setiap perempuan dilarang berjalan sendirian atau berada di luar rumah tanpa ditemani muhrimmya pada selang waktu pukul 24.00 sampai dengan pukul 04.00, kecuali dengan alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.” Demikian bunyi salah satu Peraturan Daerah Provinsi Gorontalo No. 10/2003 tentang Pencegahan Maksiat.

Apakah kedua peraturan daerah tersebut melindungi perempuan? Mungkin penyusunnya ingin melindungi perempuan, namun tidak memiliki bayangan bagaimana cara melindungi perempuan dari kejahatan seksual. Akibatnya aturan yang dihasilkan menjadi diskriminatif. Dalam aturan itu, stigma bahwa perempuan adalah penyebab tindakan maksiat diformalkan.

Baca entri selengkapnya »

, , ,

1 Komentar

Stop Diskriminasi Terhadap Perempuan

Refleksi Hari Guru dan Anti Kekerasan Terhadap Perempuan: 25 November 2010

Oleh: Eny Luckiyah,
Aktivis Perempuan dari Gerakan Perempuan Pendukung Gender, tinggal di Yogyakarta.

Gagasan pemerintah dalam memfatwakan upaya penghapusan tindak diskriminasi terhadap perempuan tampaknya mulai membumi. Meskipun banyak kita jumpai upaya pemerintah dalam menghapuskan kekerasan terhadap perempuan dan anak, namun jumlah korban yang ditemukan masih banyak. Data korban sebagaimana yang telah dicatat oleh Samitra Abhaya selaku anggota KPPD, dia mencatat bahwasanya sejak tahun 1999 jumlah korban 1 orang. Tetapi hingga tahun 2010 ini, telah bertambah mendekati angka lebih dari 1000 kasus, dan perempuanlah yang menjadi korbannya.

Baca entri selengkapnya »

, , , ,

Tinggalkan komentar

Demi Cinta, Para Artis Pun Rela Pindah Agama

Oleh : Reny Mardiningsih dan Titis Tri Wahyanti

Dalam beberapa pekan terakhir, publik dikejutkan dengan banyaknya artis Indonesia yang pindah agama. Salah satunya Pinkan Mamboo. Pelantun hits Kekasih Yang Tak Dianggap ini untuk kedua kalinya diberitakan telah pindah agama. Berita Pinkan Mambo pindah agama tersebut dibenarkan oleh ibunya Deetje. Kecewa, itu yang dirasakan oleh seorang ibu mendengar kabar tersebut.

Selama ini kata Deetje, ibu Pinkan belum pernah melihat Pinkan pergi ke gereja. Namun menurut Deetje, Pinkan sudah mulai belajar agama lain dari bulan April 2010. Deetje mengungkapkan kalau pemilik nama lengkap Pinkan Ratnasari Mambo itu banyak berubah belakangan ini. Meski demikian, keputusan Pinkan pindah keyakinan tidak membuat Deetje merasa kehilangan anak. “Anak merupakan titipan Allah dan kita tidak boleh mencintai anak 100 persen, selain kepada Sang Pencipta,” ujar Deetje.

Baca entri selengkapnya »

, , , ,

11 Komentar

Sekitar 64 Persen Buta Aksara di Indonesia Adalah Perempuan

Republika, 7 September 2010.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA–Angka buta aksara di Indonesia pada akhir tahun 2010 diperkirakan tersisa 8,3 juta orang (4,79 persen), sedikit lebih baik dibanding 2009 yang mencapai 8,7 juta orang (5,3 persen). Dari jumlah itu sebagian besar penduduk berusia di atas 45 tahun (70-80 persen) dan berjenis kelamin perempuan (64 persen).

“Kami telah merintis program affirmative action bagi kelompok perempuan yang buta aksara,” ujar Dirjen Pendidikan Non Formal dan Informal (PNFI) Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) Hamid Muhammad dalam keterangan pers di Gerai Informasi dan Media (GIM) Kemdiknas Senayan, Jakarta, Senin (6/9).

Keterangan pers dilakukan berkaitan rencana peringatan Hari Aksara Internasional (HAI) ke-45 yang akan berlangsung di Balikpapan Provinsi Kalimantan Timur pada 10 Oktober 2010. Hadir pula pada keterangan pers Direktur Pendidikan Masyarakat Ditjen PNFI Kemdiknas Ella Yulaelawati.

Menurut Hamid, disparitas gender buta aksara antara laki-laki dan perempuan yang masih relatif besar merupakan permasalahan dan tantangan yang dihadapi. Disparitasnya ini sebesar 2,64 persen.

Permasalahan dan tantangan lainnya, kata Hamid, sisa penduduk buta aksara adalah kelompok masyarakat yang tersulit, baik dari sisi ekonomi (sangat miskin), geografis (terpencil, terpencar, dan terisolasi), maupun secara sosial budaya. Selain itu, masih cukup besarnya angka ‘buta aksara kembali’ dari warga belajar yang sudah dibelajarkan melalui program pendidikan keaksaraan dasar.

Hamid mengungkapkan, menghadapi permasalahan dan tantangan seperti itu, penyelenggaraan program penuntasan buta aksara sejak 2009 dibangun dalam kerangka kerja Akrab (Aksara Agar Berdaya) sejalan dengan kerangka LIFE (Literacy Initiative for Empowerment) UNESCO. “Dalam hal ini, upaya penuntasan buta aksara melalui pendidikan keaksaraan terintegrasi dengan kecakapan hidup dan program pengentasan kemiskinan secara umum,” katanya.

Sementara itu, Direktur Pendidikan Masyarakat Ditjen PNFI Kemdiknas Ella Yulaelawati mengakui kendala makro penuntasan buta aksara adalah penduduk usia 45 tahun ke atas yang mayoritas adalah perempuan. Untuk mengatasi kendala itu digunakan pendekatan melalui program pemberdayaan perempuan, seperti ‘Koran Ibu’ sebagai media menulis dari perempuan, oleh perempuan, dan untuk perempuan

, ,

Tinggalkan komentar

Puasa dan Kearifan Perempuan

Kompas; Sabtu, 4 September 2010 | 03:48 WIB
OLEH ABIDAH EL KHALIEQY

Puasa Ramadhan merupakan kewajiban—ibadah mahdloh—bagi orang-orang beriman, khususnya kaum Muslim. Akan tetapi, esensi ibadah puasa bukan hanya sekadar ritus penahanan diri dari nafsu makan, minum, seks, dan sebagainya. Namun, dalam puasa juga termaktub ibadah-ibadah lain yang bersifat kultural, ghoiru mahdloh, yang dianjurkan syariat Islam untuk meraih kemuliaan dan kesempurnaan kemanusiaan kita.

Baca entri selengkapnya »

, , , , , ,

Tinggalkan komentar

Dilematika Kuota Politik Perempuan

Oleh :
Siti Soelistyani
Wartawan Harian Bhirawa

Keinginan kaum perempuan agar disamakan derajatnya dengan kaum laki-laki dalam meniti karir sebenarnya sudah ada sejak dulu. Perjuangan RA Kartini yang didiskripsikan melalui bukunya ‘Habis Gelap Terbitlah Terang’ adalah buktinya. Dibanding zaman Kartini dulu, realitas hari ini tentu sudah jauh banyak kemajuan khususnya dalam hal terbitnya aturan yang memperhatikan kesetaraan gender. Sayangnya, instrument perundangan yang seolah pro-perempuan masih sebatas angin surga yang tidak sepenuhnya berlaku di negeri ini. Terbukti, posisi perempuan Indonesia masih dipandang sebelah mata, khususnya mereka yang berkarir di dunia politik.
Era otonomi daerah telah memberikan peluang yang lebih besar bagi kaum perempuan Indonesia untuk berkiprah dan mengambil peran yang signifikan dalam pembangunan. Roh otonomi daerah pada hakikatnya merupakan sebuah pemberdayaan masyarakat lokal dalam membangun daerah, termasuk bagi kaum perempuannya. Bertolak dari hal tersebut di atas jelaslah bahwa demokrasi pada kehidupan politik saat ini memerlukan peran aktif masyarakat. Partisipasi dalam kehidupan politik diharapkan akan memberikan makna demokrasi yang secara normatif dapat terwujud pada realitas kehidupan politik bangsa Indonesia. Peran serta diharapkan dari seluruh kalangan dalam masyarakat baik kaum laki-laki maupun perempuan. Hak politik perempuan pada tingkat sosio-politik terlahir karena para perempuan merasa dirinya kurang terwakili dalam parlemen dan jauh dari keterlibatan dalam proses pembuatan keputusan. Perempuan yang ingin masuk kedunia politik, menemukan kenyataan bahwa lingkungan politik, publik, budaya dan sosial sering tidak bersahabat atau bahkan pada titik tertentu bermusuhan dengan perempuan. Seperti yang terjadi sebelum era reformasi kaum perempuan direduksi sedemikian rupa pada tataran simbolis dan struktural dan hanya merupakan mendampingi suami atau sering disebut dengan konco wingking. Pencitraan yang dimunculkan melalui pejabat-pejabat publik, dimana sang istri diperankan sebagai orang kedua dibelakang suami. Setelah era reformasi, sedikit demi sedikit ada secercah harapan pada perempuan untuk memasuki ruang publik dan politik sekaligus.

Baca entri selengkapnya »

, ,

Tinggalkan komentar

Petan, Rerasan dan Infotainmen

Oleh : Khozanah Hidayati (Pemerhati masalah sosial dan politik, tinggal di Tuban)
8 Agustus 2010

Petan (hurup ‘e’ dibaca seperti pada kata tape) adalah satu aktifitas fisik antara dua atau lebih orang perempuan atau ibu-ibu untuk mencari kutu rambut dari kepala temannya. Bahasa Indonesianya petan masih belum kita temukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Tapi secara garis besar bisa diartikan mencari kutu, meskipun seringkali berburu uban pun bisa dikategorikan petan juga.

Aktifitas petan ini boleh dibilang menyenangkan. Para ibu-ibu bisa bertahan petan berjam-jam. Dan menjalaninya dengan penuh hikmat. Yang membuat makin betah dari ritual petan ini adalah konten tambahannya, yakni ngerumpi atau ngegosip. Sambil “klethas-klethus mlithesi kor” dan “lingso” (kor adalah anak kutu sedangkan lingso adalah telur kutu), si ibu yang lagi dipetani itu nyerocos membicarakan borok-borok para tetangga. Mulai dari Si A yang barusan membeli kalung, sampai Si B yang anaknya hamil di luar nikah dikupas tuntas sampai habis. Kadang pembicaraan yang tadinya terdengar dari jauh, tiba-tiba bisa berubah “pating glenik”, bisak-bisik sambil sesekali nyekikik.

Baca entri selengkapnya »

, , , , , ,

Tinggalkan komentar